Support Group dan Komunitas oleh Pekerja Sosial Medis kepada Anak dengan Hemofilia
oleh Pandu Setyo Nugroho, SST
Hemofilia adalah kelainan genetik langka di mana darah tidak membeku secara normal karenakekurangan faktor pembekuan. Penderita hemofilia rentan mengalami perdarahan, terutamadi
persendian, otot, atau organ dalam, bahkan dari cedera ringan sekalipun. Di Indonesia diperkirakanterdapat sekitar 25.000 penderita hemofilia, tetapi yang terdata hanya sekitar 10%, kurangnyakesadaran dan keterbatasan fasilitas diagnostik menyebabkan banyak kasus tidak terdeteksi ataubaruterdiagnosis setelah terjadi perdarahan serius.
Pada anak, hemofilia biasanya diturunkan secara genetik (terkait kromosom X), sehingga lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Jenis Hemofilia pada Anak:
1. Hemofilia A: Kekurangan faktor pembekuan VIII (paling umum).
2. Hemofilia B: Kekurangan faktor pembekuan IX.
3. Hemofilia C: Kekurangan faktor XI (jarang, tidak terkait kromosom X).
Anak-anak dengan hemofilia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kesehatan fisik, psikologis, sosial, hingga ekonomi.
1. Tantangan Kesehatan Fisik
Anak dengan hemofilia rentan mengalami perdarahan spontan di sendi, otot, atau organ dalam, bahkan tanpa cedera serius. Jika tidak ditangani, perdarahan berulang dapat menyebabkan kerusakan sendi permanen dan kecacatan fisik. Perdarahan pada sendi dan otot menimbulkan nyeri hebat, yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Anak mungkin membutuhkan obat pereda nyeri secara rutin, yang berisiko menyebabkan efek samping. Selain itu anak dengan hemofilia berat dapat mengalami
gangguan pertumbuhan karena aktivitas fisik terbatas dan kerusakan pada sendi.
2. Tantangan Psikologis dan Emosional
Anak sering merasa takut mengalami perdarahan, terutama saat bermain atau beraktivitas dan orangtua juga cenderung over protektif, yang dapat memengaruhi kepercayaan diri anak. Karena takut
cedera, anak mungkin dilarang bermain dengan teman sebaya, sehingga merasa terisolasi. Dalam beberapa kasus, anak bahkan mengalami bullying karena dianggap "lemah" atau "sering sakit". Anak dengan hemofilia berat juga berisiko mengalami depresi akibat rasa sakit kronis dan keterbatasan fisik
3. Tantangan Sosial dan Pendidikan
Sekolah sering tidak memahami kondisi hemofilia, sehingga anak dilarang ikut olahraga atau kegiatan fisik. Padahal, olahraga ringan (seperti berenang) justru penting untuk kekuatan otot dan sendi. Selain itu guru dan teman sekolah mungkin tidak tahu cara menolong jika anak mengalami perdarahan. Kurangnya kesadaran membuat anak stigmatisasi sebagai "anak sakit-sakitan".
4. Tantangan Ekonomi dan Akses Pengobatan
Di Indonesia terdapat sekitar 2500 sampai 3000 kasus pasien yang terdiagnosis menderita hemofilia, hanya sekitar 10% dari total perkiraan penderita hemofilia di seluruh indonesia. Hal ini terjadi karena berbagai faktor diantaranya akses layanan kesehatan lanjutan yang jauh, biaya pengobatan yang tinggi
(pada pasien yang tidak memiliki BPJS Kesehatan), hingga biaya untuk mengakses layanan kesehatan yang tidak terjangkau
5. Tantangan Jangka Panjang
Jika tidak ditangani dengan baik, anak hemofilia berisiko mengalami kerusakan sendi permanen (artropati), hambatan perkembangan sosial karena isolasi, dan masalah finansial keluarga akibat biaya pengobatan seumur hidup.
Pekerja Sosial Medis memiliki peran penting dalam membantu pasien dengan hemofilia untuk mencapai kualitas hidup yang baik. Beberapa peranan Pekerja Sosial Medis yang dapat dilakukan adalah melakukan pendampingan psikososial, edukasi dan peningkatan pemahaman lingkungan sosial
pasien tentang hemofilia, advokasi dan fasilitasi akses layanan kesehatan, melakukan koordinasi
dengan stakeholders terkait pasien, pemberdayaan dan kemandirian pasien, baik dengan metode individu maupun dengan metoda kelompok.
Pekerjaan Sosial dengan metode kelompok (Support Group) dan metode komunitas memberikan dampak yang signifikan dalam membantu penderita hemofilia dan keluarganya menghadapi tantangan fisik, emosional, sosial, dan ekonomi sehingga mencapai kualitas hidup yang optimal. Support Group dan Komunitas memberikan manfaat bagi pasien dengan hemofilia diantaranya :
1. Dukungan Emosional dan Psikologis
Melalui Support Group pasien dapat berbagi pengalaman antar-pasien dan keluarga untuk mengurangi
rasa kesepian dan isolasi, mengurangi stres dan kecemasan. Hal ini dapat mencegah depresi dengan membangun lingkungan yang positif dan saling mendukung.
2. Edukasi dan Peningkatan Pengetahuan
Membagikan informasi terbaru tentang pengobatan, terapi, dan penanganan darurat. Melalui Support
Group dan Komunitas juga dapat menjadi media untuk memberikan pelatihan praktis, seperti cara menyuntik faktor pembekuan atau pertolongan pertama saat perdarahan.
3. Advokasi dan Pemberdayaan
Komunitas dan Support Group dapat mendorong pasien dan keluarga untuk aktif dalam perawatan dan pengambilan keputusan medis. Selain itu Komunitas juga dapat memperjuangkan hak pasien, seperti akses obat, perlindungan di sekolah, atau kebijakan kesehatan yang lebih baik.
4. Dukungan Sosial dan Keterlibatan Komunitas
Komunitas dapat mengurangi stigma sosial dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hemofilia sehingga dapat membantu anak-anak hemofilia bersosialisasi tanpa rasa takut di-bully atau dikucilkan.
5. Bantuan Praktis dan Sumber Daya
Komunitas mempertemukan pasien dengan bantuan finansial, seperti donasi atau program jaminan kesehatan. Selain itu melalui Support Group keluarga dapat berbagi tips menghemat biaya pengobatan, seperti memanfaatkan program pemerintah atau bantuan dari yayasan.
6. Motivasi dan Inspirasi
Kisah sukses pasien hemofilia dalam kelompok atau komunitas yang bisa menjalani hidup produktif
dapat memberikan harapan baru dan mendorong semangat hidup anggota kelompok yang lain.
Sumber :
World Federation of Hemophilia (WFH). The Role of Patient Organizations in Hemophilia Care. National Hemophilia Foundation (NHF). Benefits of Joining a Support Group.
Perhimpunan Hemofilia Indonesia (PHI). Panduan Support Group untuk Pasien Hemofilia